Fidel Castro Merupakan Tokoh Revolusioner Kuba Yang Berasal Dari Kota

Fidel Castro Merupakan Tokoh Revolusioner Kuba Yang Berasal Dari Kota

Invasi Teluk Babi dan "Kuba Sosialis": 1961–1962

[Tidak ada] keraguan mengenai siapa pemenangnya. Posisi Kuba di mata dunia melejit, dan citra Fidel sebagai pemimpin yang sangat dikagumi dan dihormati oleh rakyat jelata Kuba pun menguat. Ketenarannya lebih tinggi daripada sebelum-sebelumnya. Ia sendiri berpikir bahwa ia telah mewujudkan apa yang hanya dapat diangan-angankan oleh generasi-generasi Kuba sebelumnya: ia telah menantang Amerika Serikat dan menang.

— Peter Bourne, biografer Castro, 1986

Pada Januari 1961, Castro memerintahkan Kedutaan Besar AS di Havana untuk mengurangi jumlah anggota stafnya yang mencapai 300 orang, karena ia menduga bahwa banyak dari antara mereka yang menjadi mata-mata. AS menanggapinya dengan mengakhiri hubungan diplomatik dengan Kuba dan meningkatkan pendanaan yang digelontorkan oleh CIA kepada para pembangkang di pengasingan; militan-militan tersebut juga mulai menyerang kapal-kapal yang berdagang dengan Kuba dan meledakkan pabrik-pabrik, toko-toko, dan tempat pengolahan gula.[162] Baik Eisenhower maupun penerusnya, John F. Kennedy, mendukung rencana CIA yang ingin membantu milisi pembangkang "Barisan Revolusioner Demokratik" dalam upaya mereka untuk melengserkan Castro; rencana tersebut berujung pada Invasi Teluk Babi pada April 1961. Pada 15 April, B-26 yang disediakan oleh CIA meledakkan 3 pangkalan udara militer Kuba; AS mengumumkan bahwa para pelakunya adalah pilot angkatan udara Kuba yang membelot, tetapi Castro membongkar kebohongan klaim tersebut.[163] Castro lalu memerintahkan penangkapan 20.000 hingga 100.000 orang yang dituduh kontra-revolusi,[164] dan di depan umum ia mengumandangkan, "Yang tidak dapat diampuni oleh kaum imperialis adalah bagaimana kita telah mengobarkan revolusi Sosialis di pelupuk mata mereka sendiri", dan ini adalah pertama kalinya ia menyatakan bahwa pemerintahannya adalah pemerintahan sosialis.[165]

CIA dan Barisan Revolusioner Demokrat telah menempatkan Brigada Asalto 2506 yang berjumlah 1.400 tentara di Nikaragua. Pada malam tanggal 16-17 April, Brigada 2506 mendarat di Teluk Babi, Kuba, dan kemudian terjadi baku tembak antara mereka dengan milisi revolusioner setempat. Castro memerintahkan Kapten José Ramón Fernández untuk melancarkan serangan balasan, tetapi ia kemudian memimpin pasukan tersebut secara langsung. Setelah Castro berhasil mengebom kapal-kapal milik para penyerang dan memperoleh bala bantuan, Brigada tersebut menyerah pada 20 April.[166] Ia memerintahkan agar 1189 pemberontak yang ditangkap diinterogasi oleh sebuah panel jurnalis dengan disiarkan secara langsung oleh televisi. Ia lalu memimpin proses interogasi tersebut secara langsung pada 25 April. 14 orang dari antara mereka diadili atas kejahatan yang telah dilakukan sebelum revolusi, sementara yang lainnya dipulangkan ke AS untuk ditukar dengan obat-obatan dan makanan senilai U.S. $25 juta.[167] Kemenangan Castro bergaung di dunia, khususnya di Amerika Latin, tetapi juga meningkatkan perlawanan internal, terutama dari golongan menengah Kuba yang ditahan menjelang terjadinya invasi. Meskipun kebanyakan dibebaskan dalam waktu beberapa hari, beberapa di antaranya melarikan diri ke AS dan menetap di Florida.[168]

Untuk mengukuhkan "Kuba Sosialis", Castro menggabungkan MR-26-7, PSP, dan Direktorat Revolusioner menjadi sebuah partai pemerintahan yang berlandaskan pada asas Leninis yang disebut sentralisme demokrat. Partai ini disebut "Organisasi Revolusioner Terintegrasi" (Organizaciones Revolucionarias Integradas – ORI), yang kemudian berganti nama menjadi Partai Kesatuan Revolusi Sosialis Kuba pada 1962.[169] Meskipun Uni Soviet masih meragukan pandangan sosialisme Castro,[170] hubungannya dengan Soviet semakin erat. Castro mengirim Fidelito ke Moskwa untuk bersekolah,[171] para teknisi Soviet datang ke Kuba,[171] dan Castro juga dianugerahi Penghargaan Perdamaian Lenin.[172] Pada Desember 1961, Castro mengakui bahwa ia sudah menjadi seorang Marxis–Leninis selama bertahun-tahun, dan dalam Deklarasi Havana Kedua-nya, ia menyerukan agar Amerika Latin bangkit dan mengobarkan revolusi. Akibatnya, AS meminta Organisasi Negara-Negara Amerika untuk mengeluarkan Kuba; Soviet secara pribadi menegur Castro karena ia dianggap ceroboh, meskipun ia mendapatkan pujian dari Tiongkok.[174] Walaupun Castro cenderung bersimpati secara ideologis kepada Tiongkok, selama terjadinya perpecahan Soviet-Tiongkok, Kuba bersekutu dengan Soviet yang lebih kaya, terutama mengingat bahwa Soviet menawarkan bantuan ekonomi dan militer.[175]

ORI mulai merombak Kuba berdasarkan contoh Uni Soviet; mereka menindas lawan-lawan politik dan orang-orang yang dianggap menyimpang secara sosial, seperti para pelacur dan kaum homoseksual; Castro menganggap aktivitas seksual sesama jenis sebagai sebuah perilaku borjuis.[176] Pria gay dipaksa masuk ke kamp-kamp pertanian yang disebut Satuan Militer untuk Bantuan Produksi (Unidades Militares de Ayuda a la Producción – UMAP); namun, banyak kaum intelektual revolusioner yang mengutuk tindakan ini, sehingga kamp-kamp tersebut ditutup pada 1967, meskipun pria gay masih tetap dipenjara. Pada 1962, ekonomi Kuba mengalami kemunduran akibat manajemen ekonomi yang buruk dan produktivitas yang rendah, yang semakin diperparah oleh embargo dagang AS. Kekurangan pangan memicu protes di Cárdenas.[178] Laporan keamanan menunjukkan bahwa banyak orang Kuba yang mengaitkan keadaan yang sulit tersebut dengan "Komunis Lama" dari PSP, sementara Castro merasa bahwa beberapa tokoh Komunis Lama – yakni Aníbal Escalante dan Blas Roca – terlalu setia kepada Moskwa. Pada Maret 1962, Castro memberhentikan tokoh-tokoh penting "Komunis Lama" dari jabatan mereka dan mencap mereka "sektarian".[179] Dalam hal hubungan pribadi, Castro menjadi semakin sendiri, dan hubungannya dengan Guevara juga retak karena Guevara menjadi semakin anti-Soviet dan pro-Tiongkok.[180]

Krisis Misil Kuba dan seruan revolusi global: 1962–1968

Khrushchev ingin memasang misil-misil nuklir R-12 di Kuba untuk menyeimbangkan kekuatan NATO.[181] Walau awalnya sempat ragu, Castro akhirnya setuju, karena ia yakin bahwa tindakan tersebut akan menjaga keamanan Kuba dan juga memajukan perjuangan sosialisme.[182] Rencana ini diwujudkan secara rahasia, dan hanya beberapa orang di Kuba yang tahu akan hal ini, yaitu Castro bersaudara, Guevara, Dorticós, dan kepala keamanan Ramiro Valdés.[183] Setelah rencana tersebut terbongkar akibat pemantauan yang dilakukan oleh AS dari udara, pada bulan Oktober AS mengarantina seluruh pulau Kuba untuk melakukan pencarian terhadap kapal-kapal yang menuju ke Kuba, sehingga terjadilah Krisis Misil Kuba. AS menganggap misil-misil ini sebagai persenjataan untuk melakukan serangan, sementara Castro bersikeras bahwa tujuan penempatan misil-misil tersebut hanyalah untuk pertahanan.[184] Castro meminta Khrushchev untuk menggertak AS dengan serangan nuklir apabila Kuba diserang, tetapi Khrushchev berniat untuk menghindari perang nuklir.[185] Castro sendiri tidak diikutsertakan dalam proses perundingan, dan akhirnya Khrushchev bersedia menarik misil-misil tersebut untuk memperoleh jaminan bahwa AS tidak akan menyerang Kuba dan bahwa AS juga akan mengeluarkan misil nuklir mereka dari Turki dan Italia.[186] Castro merasa dikhianati oleh Khrushchev, sehingga ia mengamuk dan lalu jatuh sakit.[187] Ia kemudian menuntut agar AS mengakhiri embargonya, menarik diri dari Pangkatan Laut Teluk Guantanamo, tidak lagi mendukung para pembangkang, dan berhenti melanggar kawasan perairan dan udara Kuba. Ia menyerahkan tuntutan tersebut kepada Sekretaris-Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa U Thant, tetapi AS menghiraukannya; alhasil Castro menolak mengizinkan regu inspeksi PBB masuk ke Kuba.[188]

Pada Mei 1963, Castro mengunjungi Uni Soviet atas undangan pribadi dari Khrushchev; selama kunjungan tersebut, mendatangi 14 kota, menyampaikan pidato di Lapangan Merah, dan dianugerahi Ordo Lenin dan gelar doktor kehormatan dari Universitas Negeri Moskwa. Castro memperoleh gagasan-gagasan baru dari kunjungannya. Ia terilhami dari surat kabar Soviet Pravda, sehingga ia menggabungkan Hoy dan Revolución menjadi sebuah surat kabar harian baru yang bernama Granma. Ia juga memberikan anggaran yang besar kepada sektor olahraga Kuba, dan tindakan ini berhasil meningkatkan reputasi olahraga negara tersebut di kancah internasional . Sementara itu, untuk semakin mengukuhkan kekuasaannya, pada 1963 pemerintah Kuba melarang sekte-sekte Protestan, dan Castro sendiri mencap mereka sebagai "alat imperialis kontra-revolusi"; banyak pengkotbah yang juga dijebloskan ke penjara akibat hubungan dengan Amerika Serikat. Tindakan-tindakan juga diambil untuk memaksa para pemuda yang dianggap "menganggur" dan "nakal" untuk bekerja, khususnya dengan memberlakukan wajib militer, sementara pada bulan September, pemerintah untuk sementara waktu mengizinkan orang-orang yang bukan laki-laki berumur 15-26 tahun untuk keluar dari Kuba, sehingga ribuan pengkritik pemerintah pun hengkang dari negara tersebut, kebanyakan orang-orang yang berasal dari kelas menengah atau atas. Pada 1963, ibu kandung Castro meninggal. Ini adalah terakhir kalinya kehidupan pribadi Castro dikabarkan oleh pers Kuba. Pada Januari 1964, Castro kembali ke Moskwa untuk menandatangani perjanjian perdagangan gula yang baru, selain juga membahas dampak dari pembunuhan John F. Kennedy; Castro merasa sangat perihatin dengan peristiwa pembunuhan tersebut, karena ia yakin bahwa dalangnya adalah kelompok kanan jauh, tetapi orang Kuba-lah yang akan disalahkan. Pada Oktober 1965, Organisasi Revolusioner Terintegrasi secara resmi berganti nama menjadi "Partai Komunis Kuba".

Ancaman terbesar dari Kuba di bawah Castro adalah bagaimana Kuba dapat menjadi contoh bagi negara-negara Amerika Latin lainnya yang dilanda kemiskinan, korupsi, feodalisme, dan eksploitasi plutokratik... pengaruhnya di Amerika Latin akan menjadi luar biasa besar dan juga tak terhindarkan lagi apabila ia, dengan bantuan dari Uni Soviet, dapat mendirikan sebuah utopia komunis di Kuba.

— Walter Lippmann, Newsweek, 27 April 1964[199]

Meskipun membuat waswas Soviet, Castro masih meneruskan seruan untuk mengobarkan revolusi global, dan ia pun mendanai kelompok-kelompok militan kiri dan gerakan-gerakan kemerdekaan. Kebijakan luar negeri Kuba sangat anti-imperialis dan menyatakan bahwa setiap bangsa harus mengendalikan sumber daya alam mereka sendiri. Castro mendukung "proyek Andes" yang dilancarkan oleh Che Guevara, yaitu sebuah rencana untuk membentuk pergerakan gerilyawan di dataran tinggi Bolivia, Peru, dan Argentina, walaupun rencana tersebut tidak berhasil; Castro juga mengizinkan kelompok-kelompok revolusioner dari berbagai belahan dunia (dari gerakan Viet Cong sampai Black Panther Party) berlatih di wilayah Kuba. Ia menganggap Afrika sebagai wilayah dengan potensi revolusi yang besar, alhasil ia mengirim pasukan dan tenaga medis untuk membantu rezim sosialis Ahmed Ben Bella di Aljazair selama terjadinya Perang Pasir. Ia juga bersekutu dengan pemerintahan sosialis pimpinan Alphonse Massamba-Débat di Kongo-Brazzaville, dan pada 1965 Castro mengizinkan Guevara berangkat ke Kongo-Kinshasa untuk melatih kaum revolusioner melawan pemerintahan yang didukung oleh Barat. Castro sendiri sangat terpukul saat mendengar kabar bahwa Guevara telah dibunuh oleh militer Bolivia yang didukung oleh CIA pada Oktober 1967, dan ia merasa bahwa penyebabnya adalah sifat Che yang tidak memedulikan keselamatan dirinya. Pada 1966, Castro mengadakan Konferensi Tiga Benua di Havana, sehingga semakin memperkuat martabatnya di kancah dunia. Berkat konferensi tersebut, Castro dapat mendirikan Organisasi Solidaritas Amerika Latin (OLAS), yang memiliki semboyan "Tugas revolusi adalah untuk mengobarkan revolusi", yang menunjukkan bagaimana Havana telah menjadi pemimpin gerakan revolusioner di Amerika Latin.

Akibat menguatnya peran Castro di pentas dunia, hubungan Kuba dengan Uni Soviet (yang sudah berganti pemimpin menjadi Leonid Brezhnev) memburuk. Dengan maksud untuk menegaskan kemerdekaan Kuba, Castro menolak menandatangani Traktat Non-Proliferasi Senjata-senjata Nuklir dan menyatakan bahwa hal tersebut merupakan upaya Soviet-AS untuk mendominasi Dunia Ketiga. Ia mulai melenceng dari doktrin Marxis Soviet dan menyatakan bahwa masyarakat Kuba dapat langsung berubah menjadi komunisme murni tanpa perlu melalui tahapan-tahapan sosialisme. Sementara itu, seorang loyalis Soviet yang bernama Aníbal Escalante mulai membentuk sebuah jaringan perlawanan terhadap Castro, sehingga pada Januari 1968 ia dan para pendukungnya ditangkap atas tuduhan membocorkan rahasia negara kepada Moskwa. Namun, Castro mengakui kebergantungan Kuba kepada Soviet secara ekonomi, alhasil ia tunduk kepada tekanan dari Brezhnev, dan pada Agustus 1968 ia mengecam para pemimpin Kebangkitan Praha dan memuji invasi Cekoslowakia oleh Pakta Warsawa.[210] Ia terilhami dari kebijakan Lompatan Jauh ke Depan di Tiongkok, sehingga pada 1968 Castro mengumandangkan "Serangan Revolusioner Besar" yang menutup semua toko dan usaha milik swasta yang masih tersisa dan mengutuk para pemiliknya sebagai kapitalis kontra-revolusi. Akibat kekurangan barang konsumen, produktivitas juga ikut menurun, karena banyak warga yang sama sekali tidak termotivasi untuk bekerja keras. Hal ini semakin diperparah oleh anggapan bahwa telah muncul kalangan elit revolusioner yang memperoleh keuntungan lebih, seperti perumahan yang lebih baik, transportasi pribadi, pelayan, dan kemampuan untuk membeli barang mewah dari luar negeri.

Perang di luar negeri dan Kepresidenan GNB: 1975–1979

Castro menganggap Afrika sebagai "titik terlemah imperialisme". Setelah diminta oleh Presiden Angola Agostinho Neto, ia mengirim 230 penasihat militer pada November 1975 untuk membantu organisasi Marxis MPLA yang dipimpin oleh Neto dalam Perang Saudara Angola. AS dan Afrika Selatan lalu memperkuat dukungan mereka kepada kelompok perlawanan FLNA dan UNITA, alhasil Castro memerintahkan agar 18.000 tentara diutus ke Angola. Saat Castro mengunjungi Angola, ia bertemu dengan Neto, Sékou Touré, dan Presiden Guinea-Bissau Luís Cabral, dan mereka sepakat untuk mendukung pemerintahan Marxis–Leninis Mozambik melawan RENAMO dalam Perang Saudara Mozambik. Pada bulan Februari, Castro mengunjungi Aljazair dan kemudian Libya. Di Libya, ia menghabiskan waktu selama sepuluh hari dengan Gaddafi dan menyaksikan pendirian sistem pemerintahan Jamahariyah, dan lalu ia menghadiri pertemuan dengan pemerintahan Marxis Yaman Selatan. Sesudah itu, ia melanjutkan perjalanannya ke Somalia, Tanzania, Mozambik, dan Angola. Di Angola, ia disambut oleh kerumunan sebagai pahlawan, karena Kuba telah membantu mereka melawan Afrika Selatan. Di Afrika, ia juga dianggap sebagai sahabat para pejuang kemerdekaan. Setelah mengunjungi negara-negara tersebut, ia mendatangi Berlin dan Moskwa.

Seringkali muncul perbincangan tentang hak asasi manusia, tetapi perbincangan tentang hak kemanusiaan juga perlu dibahas. Kenapa beberapa orang harus berjalan tanpa alas kaki, agar yang lainnya bisa berjalan-jalan dengan mobil mewah? Kenapa beberapa orang hanya dapat hidup selama tiga puluh lima tahun, agar yang lainnya bisa hidup selama tujuh puluh tahun? Kenapa beberapa orang sangat miskin, agar yang lainnya dapat menjadi sangat kaya? Aku berbicara atas perantara anak-anak di seluruh dunia yang tidak memiliki sepotong roti. Aku berbicara atas perantara orang-orang sakit yang tidak memiliki obat-obatan, atas perantara orang-orang yang dilanggar hak hidup dan martabatnya.

— Pesan Fidel Castro kepada Majelis Umum PBB, 1979

Pada 1977, Somalia menyerang Etiopia untuk mengambil alih wilayah Ogaden; meskipun Castro pernah berhubungan dekat dengan Presiden Somalia Siad Barre, ia telah memperingatkannya mengenai dampak dari tindakan semacam itu. Pada akhirnya Kuba malah berpihak kepada pemerintahan Marxis Etiopia yang dipimpin oleh Mengistu Haile Mariam. Ia mengirim pasukan di bawah komando Jenderal Arnaldo Ochoa untuk membantu Etiopia. Setelah berhasil memukul mundur pasukan Somalia, Mengistu kemudian memerintahkan pasukan Etiopia untuk memberantas Front Pembebasan Rakyat Eritrea, tetapi Castro menolak mendukung tindakan tersebut. Sementara itu, di Amerika Latin, Castro melayangkan dukungan kepada Front Pembebasan Nasional Sandinista dalam melengserkan pemerintahan sayap kanan Anastasio Somoza Debayle di Nikaragua pada Juli 1979. Namun, para pengkritik Castro merasa bahwa pemerintah telah menghambur-hamburkan nyawa tentara Kuba; Center for a Free Cuba yang anti-Castro mengklaim bahwa sekitar 14.000 pasukan Kuba tewas selama aksi-aksi militer Kuba di luar negeri.[240] Saat AS menegaskan bahwa Kuba tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam urusan negara-negara tersebut, Castro membalasnya dengan mengatakan bahwa Kuba telah diundang ke sana, dan ia juga balik menunjuk kepada campur tangan AS di berbagai negara.

Pada 1979, Konferensi Gerakan Non-Blok (GNB) diadakan di Havana, dan Castro kemudian terpilih menjadi Presiden GNB, sebuah jabatan yang ia emban hingga 1982. Ia tampil di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Oktober 1979 dalam kapasitasnya baik sebagai Presiden GNB maupun Kuba, dan di situ ia memberikan pidato tentang kesenjangan antara yang kaya dan miskin di dunia. Pidatonya disambut dengan tepuk tangan yang meriah dari para pemimpin dunia, meskipun kedudukannya di GNB rusak setelah Kuba menolak mengutuk campur tangan Soviet di Afganistan. Sementara itu, hubungan Kuba dengan negara-negara Amerika Utara sempat membaik pada masa kepemimpinan Presiden Luis Echeverría di Meksiko, Perdana Menteri Pierre Trudeau di Kanada, dan Presiden Jimmy Carter di Amerika Serikat. Carter masih mengkritik pelanggaran hak asasi manusia di Kuba, tetapi pendekatannya lebih hormat, dan Castro pun menyadari hal ini. Castro menganggap Carter sebagai seorang presiden yang tulus dan beritikad baik, alhasil ia membebaskan beberapa tahanan politik dan mengizinkan beberapa orang Kuba di pengasingan mengunjungi kerabat mereka di Kuba, dengan harapan agar Carter mau mencabut embargo dan menghentikan dukungan CIA terhadap para pembangkang militan. Di sisi lain, hubungannya dengan Tiongkok memburuk, karena ia menuduh pemerintahan Deng Xiaoping telah mencederai prinsip-prinsip revolusioner dengan mengadakan hubungan dagang dengan AS dan menyerang Vietnam.

Periode Istimewa: 1990–2000

Setelah berakhirnya perdagangan dengan blok Soviet, Castro secara terbuka mengumandangkan bahwa Kuba memasuki "Periode Istimewa pada Masa Damai". Jatah minyak bumi berkurang drastis, sepeda-sepeda Tiongkok diimpor untuk menggantikan mobil-mobil, dan pabrik-pabrik yang dianggap kurang penting ditutup. Kerbau mulai menggantikan traktor, kayu bakar mulai digunakan untuk memasak, dan pemadaman listrik dapat berlangsung selama 16 jam dalam sehari. Castro mengakui bahwa Kuba sedang menghadapi keadaan terburuk dan mereka mungkin harus bergantung pada pertanian subsisten. Ekonomi Kuba mengalami kemunduran sebesar 40% dalam rentang waktu dua tahun hingga 1992, dan persediaan pangan juga menipis, malagizi merebak, dan terjadi kekurangan barang-barang untuk memenuhi kebutuhan dasar. Castro berharap agar Marxisme-Leninisme ditegakkan kembali di Uni Soviet, tetapi ia tidak mendukung percobaan kudeta di negara tersebut pada 1991. Setelah Gorbachev berhasil mempertahankan kekuasaannya, hubungan Kuba dengan Soviet semakin memburuk dan pasukan Soviet ditarik dari Kuba pada September 1991. Pada bulan Desember, Uni Soviet secara resmi dibubarkan setelah Boris Yeltsin menutup Partai Komunis Uni Soviet dan memperkenalkan sistem demokrasi multipartai dengan ekonomi kapitalis. Yeltsin tidak menyukai Castro dan malah menjalin hubungan dengan Yayasan Nasional Kuba Amerika yang berbasis di Miami. Alhasil Castro berupaya memperbaiki hubungannya dengan negara-negara kapitalis. Ia menyambut para politikus dan investor Barat yang datang ke Kuba, berteman dengan Manuel Fraga dari Spanyol, dan bahkan ia sangat tertarik dengan kebijakan-kebijakan Margaret Thatcher di Britania Raya, karena ia yakin bahwa sosialisme Kuba bisa belajar dari kebijakan penurunan pajak dan penggalakkan inisiatif individual yang diberlakukan oleh Thatcher. Ia tidak lagi mendukung kelompok-kelompok militan asing, ia tidak memuji FARC saat mengunjungi Kolombia pada 1994, dan ia juga menyerukan perdamaian antara pasukan Zapatista dan pemerintah Meksiko pada 1995. Secara terbuka, ia menampilkan dirinya sebagai seorang moderat di pentas dunia.

Pada 1991, Havana menjadi tuan rumah Pan American Games, sehingga Kuba harus membangun sebuah stadion dan fasilitas akomodasi untuk para atlet. Castro mengakui bahwa tindakan tersebut merupakan suatu kesalahan, tetapi Kuba dianggap sukses sebagai tuan rumah. Kerumunan terus menerus meneriakkan "Fidel! Fidel!" di depan para jurnalis asing, sementara Kuba menjadi negara Amerika Latin pertama yang berhasil mengalahkan perolehan medali emas AS. Dukungan untuk Castro masih kuat, dan meskipun terkadang diadakan ujuk rasa anti-pemerintah, kelompok oposisi Kuba menolak seruan pemberontakan dari komunitas pembangkang di pengasingan. Pada Agustus 1994 di kota Havana, terjadi demonstrasi antri-Castro terbesar dalam sejarah Kuba. Terdapat 200 hingga 300 pemuda yang melempari batu ke arah polisi dan menuntut agar mereka diizinkan pindah ke Miami. Kerumunan pro-Castro yang jumlahnya lebih besar datang untuk menandingi mereka, dan Castro juga ikut dengan kerumunan tersebut; ia lalu memberitahukan kepada media bahwa para pemuda ini adalah orang-orang antisosial yang diperdaya oleh AS. Unjuk rasa ini pada akhirnya dibubarkan tanpa adanya korban luka-luka yang tercatat secara resmi. Pemerintah merasa khawatir bahwa kelompok pembangkang akan melancarkan serangan dari luar negeri, sehingga mereka menerapkan strategi pertahanan "Perang Semesta"; kampanye gerilya massal juga disiapkan, dan para pengangguran diberikan pekerjaan membangun bunker-bunker dan terowongan-terowongan di berbagai wilayah Kuba.

Kita tidak memiliki segelintir pun [unsur] kapitalisme dan neo-liberalisme. Kita menghadapi sebuah dunia yang dikuasai oleh neo-liberalisme dan kapitalisme. Bukan berarti kita akan menyerah. Artinya kita harus menyesuaikan diri dengan kenyataan di dunia tersebut. Itulah yang kita lakukan, dengan ketenangan yang besar, tanpa meninggalkan cita-cita kita, tujuan kita. Aku meminta kepadamu untuk percaya dengan apa yang pemerintah dan partai lakukan. Mereka mempertahankan, sampai atom terakhir, gagasan, asas, dan tujuan sosialis.

— Fidel Castro menjelaskan reformasi pada Periode Istimewa

Castro meyakini bahwa reformasi diperlukan jika sosialisme Kuba ingin tetap bertahan di dunia yang didominasi oleh pasar bebas kapitalis pada masa itu. Pada Oktober 1991, Kongres Partai Komunis Kuba Keempat diadakan di Santiago, dan kongres tersebut menghasilkan sejumlah perubahan besar terhadap pemerintahan. Castro akan mengundurkan diri dari jabatan kepala pemerintahan dan akan digantikan oleh Carlos Lage yang jauh lebih muda, meskipun Castro masih akan tetap menjadi kepala Partai Komunis dan panglima tertinggi angkatan bersenjata. Banyak anggota pemerintahan yang sudah tua yang akan dipensiunkan dan digantikan oleh orang-orang yang lebih muda. Sejumlah perubahan ekonomi diusulkan, dan kemudian akan dikonsultasikan kepada rakyat lewat referendum. Pasar petani bebas dan usaha swasta berskala kecil akan dilegalkan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara dolar AS juga dijadikan alat bayar sah. Pembatasan terhadap emigrasi diringankan, sehingga semakin banyak orang Kuba yang pindah ke Amerika Serikat. Proses demokratisasi akan terus didorong dengan mengadakan pemilihan anggota Majelis Nasional secara langsung dan bukan lewat majelis kota praja atau provinsial. Castro mempersilakan perdebatan antara pendukung dan penentang reformasi, tetapi seiring berjalannya waktu ia menjadi semakin bersimpati dengan kelompok penentang.

Pemerintahan Castro mendiversifikasi ekonominya dengan mengembangkan sektor bioteknologi dan pariwisata, dan sektor pariwisata kemudian melampaui industri gula sebagai sumber pemasukan utama pada 1995. Kedatangan ribuan wisatawan Meksiko dan Spanyol berujung pada peningkatan jumlah orang Kuba yang masuk ke dunia pelacuran; meskipun secara resmi ilegal, Castro berusaha menghindari penindakan pelacuran, karena khawatir akan terjadi kekisruhan politik. Kesulitan ekonomi membuat banyak orang Kuba menjadi taat beragama, baik itu agama Katolik maupun Santería. Meskipun Castro sudah sejak lama memiliki keyakinan bahwa agama adalah suatu hal yang terbelakang, pendekatan Castro terhadap institusi-institusi agama tidak lagi sekeras sebelumnya, dan orang-orang beragama untuk pertama kalinya diperbolehkan bergabung dengan Partai Komunis. Walaupun ia memandang Gereja Katolik Roma sebagai sebuah lembaga prokapitalis dan reaksioner, Castro menyambut kunjungan Paus Yohanes Paulus II di Kuba pada Januari 1998; hal ini memperkuat posisi Gereja Kuba dan pemerintahan Castro.

Pada awal era 1990-an, Castro mencanangkan gerakan lingkungan hidup, berkampanye melawan pemanasan global dan penghambur-hamburan sumber daya alam, dan menuduh AS sebagai penghasil polusi utama di dunia. Pada 1994, sebuah kementerian yang berfokus pada lingkungan hidup didirikan, dan hukum-hukum baru dikeluarkan pada 1997 yang mendorong kesadaran masalah-masalah lingkungan di seluruh Kuba dan menekankan pentingnya pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan. Pada 2006, Kuba menjadi satu-satunya negara di dunia yang memenuhi definisi pembangunan berkelanjutan menurut Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dengan jejak ekologi yang kurang dari 1,8 hektar per kapita dan Indeks Pengembangan Manusia sebesar lebih dari 0,8.[288] Castro juga menjadi pendukung gerakan anti-globalisasi, dan ia mengkritik hegemoni AS dan kekuasaan perusahaan multinasional di dunia. Pada masa ini, Castro juga masih sangat anti-apartheid, dan pada perayaan 26 Juli 1991, aktivis politik Afrika Selatan Nelson Mandela (yang baru saja dikeluarkan dari penjara) naik ke atas panggung bersamanya. Mandela memuji keterlibatan Kuba dalam upaya melawan Afrika Selatan di Angola dan secara pribadi berterima kasih kepada Castro. Ia kemudian menghadiri pelantikan Mandela sebagai Presiden Afrika Selatan pada 1994. Pada 2001, ia menghadiri Konferensi Melawan Rasisme di Afrika Selatan, dan dalam ajang tersebut ia memberikan ceramah mengenai penyebaran stereotipe ras di dunia melalui film-film buatan AS.

Masa pensiun: 2008–2016

Setelah memasuki masa pensiun, kesehatan Castro memburuk; pers internasional menduga bahwa ia terserang divertikulitis, tetapi pemerintah Kuba menolak membenarkan dugaan tersebut.[321] Ia masih berinteraksi dengan rakyat Kuba, menerbitkan sebuah kolom opini yang berjudul "Refleksi" di koran Granma, dan memberikan ceramah publik.[321] Pada Januari 2009, Castro meminta kepada rakyat Kuba agar tidak khawatir dengan kondisi kesehatannya yang memburuk, dan agar tidak terpukul jika ia harus menjemput ajal.[322] Ia masih bertemu dengan pemimpin dan tamu asing, dan pada bulan yang sama foto-foto pertemuan Castro dengan Presiden Argentina Cristina Fernández dirilis.[323]

Pada Juli 2010, ia muncul di muka umum untuk pertama kalinya semenjak ia jatuh sakit. Ia menyambut para pekerja pusat sains dan memberikan sebuah wawancara televisi kepada Mesa Redonda. Di dalam wawancara tersebut, ia membahas ketegangan AS dengan Iran dan Korea Utara.[324] Pada 7 Agustus 2010, Castro menyampaikan ceramah pertamanya di hadapan Majelis Nasional dalam rentang waktu empat tahun terakhir, dan ia menyerukan kepada AS agar tidak menyerang negara-negara tersebut dan juga memperingatkan AS akan bahaya holokaus nuklir.[325] Saat ditanya apakah Castro akan kembali ke pemerintahan, Menteri Kebudayaan Abel Prieto berkata kepada BBC, "Saya rasa ia selalu ada dalam kehidupan politik Kuba meskipun ia tidak dalam pemerintahan ... Ia sangat berhati-hati terkait dengan hal tersebut. Perjuangan besarnya adalah urusan internasional."[326]

Pada 19 April 2011, Castro mengundurkan diri dari komite pusat Partai Komunis,[327] sehingga ia tidak lagi menjadi pemimpin partai. Raúl kemudian terpilih menjadi penerusnya.[328] Pada Maret 2011, Castro mengecam intervensi militer NATO di Libya.[329] Pada Maret 2012, Paus Benediktus XVI mengunjungi Kuba selama tiga hari, dan selama kunjungan tersebut Paus sempat bertemu dengan Castro, meskipun Paus sebelumnya lantang bersuara menentang pemerintahan Kuba.[321][330] Belakangan, pada tahun yang sama, telah terkuak bahwa Castro dan Hugo Chávez berperan penting dalam mengatur perundingan antara pemerintah Kolombia dengan kelompok gerilyawan yang berhaluan kiri jauh, FARC, untuk mengakhiri konflik yang telah terjadi sejak 1964.[331] Kemudian, selama terjadinya Krisis Korea Utara 2013, ia meminta agar pemerintah Korea Utara dan AS menahan diri. Ia menganggap krisis tersebut sebagai keadaan yang "sulit dipercaya dan konyol", dan menurutnya perang tidak akan menguntungkan kedua belah pihak.[332]

Pada Desember 2014, Castro dianugerahi Penghargaan Perdamaian Konghucu dari Tiongkok atas upayanya untuk mencari solusi damai dengan AS dan juga atas upayanya setelah ia pensiun untuk mencegah perang nuklir.[333] Pada Januari 2015, ia secara terbuka menanggapi "Pencairan Kuba", yaitu normalisasi hubungan AS dengan Kuba, dengan menyatakan bahwa meskipun hal tersebut merupakan langkah positif untuk menegakkan perdamaian di kawasan tersebut, ia masih tidak percaya dengan pemerintah AS.[334] Ia tidak bertemu dengan Presiden AS Barack Obama saat Obama berkunjung ke Kuba pada Maret 2016, walaupun ia mengirimkannya sebuah surat yang menyatakan bahwa Kuba "tak butuh hadiah dari kekaisaran".[335] Pada bulan April, ia muncul di muka umum dengan menyampaikan pidato di hadapan Partai Komunis. Ia menyadari bahwa tidak lama lagi ia akan tutup usia, tetapi ia meminta kepada pada hadirin untuk tetap mempertahankan idealisme komunis mereka.[336] Pada September 2016, Castro dikunjungi di rumahnya di Havana oleh Presiden Iran Hassan Rouhani,[337] dan kemudian pada bulan yang sama ia dikunjungi oleh Perdana Menteri Jepang Shinzō Abe.[338]

Stasiun televisi pemerintah mengumumkan bahwa Castro menjemput ajal pada malam tanggal 25 November 2016.[339] Penyebab kematiannya tidak dijelaskan.[340] Presiden Raúl Castro memastikan kebenaran kabar tersebut dengan mengeluarkan sebuah pernyataan singkat: "Komandan utama revolusi Kuba meninggal malam ini pada pukul 22.29".[341] Castro tutup usia hanya dalam selang waktu sembilan bulan setelah kakaknya, Ramón, meninggal pada umur 91 tahun pada bulan Februari.[342] Jenazah Castro dikremasi pada 26 November 2016.[341] Prosesi pemakaman berlangsung di jalan tol utama Kuba dan menempuh jarak hingga 900 kilometer untuk mengikuti rute "Karavan Kebebasan" pada Januari 1959; setelah masa berkabung selama sembilan hari,[343] abunya dikubur di Pemakaman Santa Ifigenia, Santiago de Cuba.[344]

Castro menyatakan dirinya sebagai "seorang sosialis, Marxis, dan Leninis", dan ia mulai mengakui identitas Marxis–Leninis secara terbuka pada permulaan Desember 1961. Sebagai seorang Marxis, Castro berusaha mengubah Kuba dari negara kapitalis yang didominasi oleh imperialisme asing menjadi masyarakat sosialis dan pada akhirnya menjadi masyarakat komunis. Dengan pengaruh dari Guevara, ia berkesimpulan bahwa Kuba tidak perlu melewati tahap-tahap sosialisme dan dapat langsung bergerak menuju komunisme. Namun, Revolusi Kuba sebenarnya tidak sejalan dengan asumsi dasar Marxisme bahwa sosialisme akan diwujudkan melalui revolusi proletar, karena kekuatan-kekuatan yang berada di balik penumbangan Batista berasal dari kelas menengah Kuba. Menurut Castro, suatu negara hanya dapat dianggap sosialis jika alat-alat produksi dikendalikan oleh negara. Maka dari itu, pemahaman sosialisme menurut Castro tidak terlalu berpusat pada siapa yang mengendalikan kekuasaan di suatu negara, tetapi lebih kepada metode distribusinya.

Pemerintahan Castro juga bersifat nasionalis, dan Castro mengumandangkan, "Kami tak hanya Marxis-Leninis, tetapi juga nasionalis dan patriotik". Sejarawan Richard Gott berkomentar bahwa salah satu kunci keberhasilan Castro adalah kemampuannya dalam memanfaatkan tema sosialisme dan nasionalisme. Castro sendiri menganggap Karl Marx dan José Martí sebagai dua tokoh yang sangat memengaruhi pemikiran politiknya, meskipun Gott meyakini bahwa Martí pada akhirnya jauh lebih berpengaruh ketimbang Marx. Castro menganggap gagasan politik Martí sebagai "sebuah filsafat kemerdekaan serta filsafat humanistik yang luar biasa", dan para pendukungnya berulang kali mengklaim bahwa Castro dan Martí memiliki banyak kesamaan.

Seorang penulis biografi Castro yang bernama Volka Skierka menyebut pemerintahan Castro sebagai "sistem "fidelista" yang sangat individual dan sosialis-nasionalis", sementara Theodore Draper mengistilahkan pandangan politik Castro sebagai "Castroisme" dan menganggapnya sebagai perpaduan sosialisme Eropa dengan tradisi revolusioner Amerika Latin. Pakar politik Paul C. Sondrol telah mendeskripsikan pandangan politik Castro sebagai "utopianisme totalitarian", dengan gaya kepemimpinan yang mempergunakan fenomena caudillo di Amerika Latin. Ia juga banyak terilhami dari gerakan-gerakan anti-imperialis di Amerika Latin pada era 1930-an dan 1940-an, termasuk Juan Perón di Argentina dan Jacobo Árbenz di Guatemala. Terkait dengan isu-isu sosial, pandangan Castro relatif konservatif dalam berbagai hal, seperti penolakan terhadap penggunaan narkoba, judi, dan pelacuran, yang ia pandang sebagai kejahatan moral. Selain itu, ia menganjurkan kerja keras, nilai keluarga, integritas, dan disiplin diri. Walaupun pemerintahannya pernah menindas homoseksualitas selama beberapa dasawarsa, dalam sebuah wawancara dengan koran Meksiko La Jornada pada 2010, ia mengaku bertanggung jawab atas segala tindakan penindasan terhadap kaum homoseksual, yang ia sesali sebagai sebuah "ketidakadilan yang besar".[360]

Mengundurkan diri 2006–2008

Setelah sempat dioperasi akibat pendarahan usus,[309] pada 31 Juli 2006 Castro menyerahkan tugas-tugas kepresidenannya kepada Raúl Castro.[310] Pada Februari 2007, Raúl mengumumkan bahwa kesehatan Fidel telah membaik dan Castro kembali membantu pemerintahan dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang penting.[311] Pada 21 April, Castro bertemu dengan Wu Guanzheng dari Politbiro Partai Komunis Tiongkok.[312] Hugo Chávez mengunjungi Castro pada bulan Agustus, dan Morales juga mendatanginya pada bulan September. Pada bulan yang sama, Gerakan Non-Blok mengadakan KTT ke-14 di Havana, dan selama pertemuan tersebut organisasi ini sepakat untuk mengangkat Castro sebagai presiden organisasi tersebut selama setahun.[315]

Saat mengomentari proses pemulihan Castro, Presiden AS George W. Bush berkata: "Suatu hari, Allah yang baik akan membawa pergi Fidel Castro." Setelah mendengar pernyataan ini, Castro yang merupakan seorang ateis berbalik menjawab: "Sekarang aku mengerti kenapa aku selamat dari rencana Bush dan presiden-presiden lainnya yang memerintahkan agar aku dibunuh: Allah yang baik melindungiku."[316]

Dalam sebuah surat yang berasal dari Februari 2008, Castro mengumumkan bahwa ia tidak akan menerima jabatan Presiden Dewan Negara dan Panglima Tertinggi,[317] dan ia berkata, "Hati nuraniku akan terganggu jika saya mengemban tanggung jawab yang membutuhkan pergerakan dan pengabdian penuh, karena kondisi fisikku tidak mencukupi".[318] Pada 24 Februari 2008, Majelis Kekuatan Rakyat Nasional memilih Raúl sebagai presiden.[319] Raúl sendiri mengatakan bahwa kakaknya "tak tergantikan", dan ia mengusulkan agar Fidel tetap dimintai nasihatnya terkait dengan permasalahan-permasalahan yang genting; usulan ini disetujui oleh 597 anggota Majelis Nasional.[320]

Perang gerilya: 1956–1959

Granma karam di daerah rawa bakau di Playa Las Coloradas, yang terletak tidak jauh dari Los Cayuelos, pada 2 Desember 1956. Castro dan rekan-rekannya melarikan diri ke pedalaman menuju kawasan pegunungan Sierra Maestra di Oriente, meskipun selama perjalanannya mereka berulang kali diserang oleh pasukan Batista.[89] Sesampainya di situ, Castro baru sadar bahwa hanya ada 19 orang yang berhasil sampai di tujuan, sisanya dibunuh atau ditangkap.[90] Mereka lalu mendirikan sebuah perkemahan, dan sejauh ini orang-orang yang berhasil selamat meliputi Castro bersaudara, Che Guevara, dan Camilo Cienfuegos.[91] Mereka kemudian mulai melakukan serangan ke pos-pos tentara kecil untuk merampas senjata, dan pada Januari 1957 mereka menyerbu sebuah pos di La Plata; mereka mengobati setiap prajurit yang terluka, tetapi mereka menghukum mati Chicho Osorio, seorang mayoral (mandor perusahaan lahan) yang dibenci oleh para petani setempat.[92] Dengan menghukum mati Osorio, para pemberontak pun mendapatkan kepercayaan dari para penduduk setempat, walaupun Castro dan rekan-rekannya masih dicurigai.[93] Seiring berjalannya waktu, kepercayaan ini turut menguat, sehingga beberapa warga bergabung dengan kelompok pemberontak, tetapi sebagian besar sukarelawan baru berasal dari kawasan perkotaan.[94] Dengan ini jumlah pasukan pemberontak bertambah hingga mencapai 200 orang, dan pada Juli 1957 Castro membagi tentaranya menjadi tiga, masing-masing dipimpin oleh dirinya, saudaranya, dan Guevara.[95] Para anggota MR-26-7 yang beroperasi di kawasan perkotaan melanjutkan perlawanan dan mengirimkan persediaan kepada Castro, dan pada 16 Februari 1957 ia bertemu dengan para anggota senior lainnya untuk membahas taktik; di situ ia bertemu dengan Celia Sánchez, yang kelak akan menjadi teman dekatnya.[96]

Kelompok-kelompok anti-Batista di berbagai wilayah di Kuba melakukan pengeboman dan sabotase; polisi menanggapinya dengan penangkapan massal, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum.[97] Pada Maret 1957, serangan DRE ke Istana Presiden mengalami kegagalan, dan selama serangan tersebut Antonio mati tertembak.[97] Frank País juga tewas, sehingga Castro menjadi satu-satunya pemimpin MR-26-7 yang tersisa.[98] Meskipun Guevara dan Raúl dikenal akan pandangan Marxis-Leninis mereka, Castro berupaya menyembunyikannya, karena ia menginginkan dukungan dari kelompok-kelompok revolusioner yang tidak terlalu radikal.[99] Pada 1957, ia bertemu dengan para pemimpin Partido Ortodoxo, Raúl Chibás dan Felipe Pazos, dan mereka merumuskan Manifesto Sierra Maestra yang menyerukan pembentukan pemerintahan sementara yang dipimpin untuk memberlakukan reformasi agraria, industrialisasi, dan kampanye melek huruf, serta sebuah pemilu yang diikuti oleh beberapa partai.[99] Pers Kuba pada masa itu disensor, sehingga Castro menghubungi media asing untuk menyebarkan pesannya; ia menjadi terkenal setelah diwawancarai oleh Herbert Matthews, seorang jurnalis dari The New York Times.[100] Para wartawan dari CBS dan Paris Match kemudian juga mewawancarainya.[101]

Para gerilyawan Castro meningkatkan serangan-serangan mereka ke pos-pos militer, sehingga pasukan pemerintah terpaksa mundur dari kawasan Sierra Maestra, dan pada musim semi 1958, para pemberontak menguasai sebuah rumah sakit, sekolah-sekolah, tempat percetakan, rumah jagal, pabrik ranjau, dan sebuah pabrik rokok.[102] Pada 1958, Batista semakin menghadapi kemelut akibat kegagalan militernya, dan juga akibat kritik-kritik yang terus mengalir dari dalam dan luar negeri yang terkait dengan tindakan penyensoran, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh rezimnya.[103] Pemerintah AS bahkan menghentikan bantuan persenjataan kepadanya.[103] Kelompok oposisi lalu menyerukan mogok kerja, yang kemudian diiringi oleh serangan dari kelompok MR-26-7. Semenjak 9 April, kelompok tersebut mendapatkan dukungan yang besar di Kuba tengah dan timur, tetapi tidak terlalu didukung di wilayah lainnya.[104]

Batista membalasnya dengan melancarkan serangan besar-besaran yang disebut Operasi Verano. Angkatan darat membombardir wilayah hutan dan pedesaan yang diduga membantu kelompok pemberontak, sementara 10.000 pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Eulogio Cantillo mengepung kawasan Sierra Maestra dan bergerak ke arah utara menuju kamp-kamp pemberontak.[105] Meskipun jumlah pasukan dan teknologi mereka lebih unggul, angkatan darat Batista sama sekali tidak berpengalaman dalam menghadapi perang gerilya, dan Castro mampu menahan serangan-serangan mereka dengan menggunakan ranjau dan melakukan penyergapan.[105] Banyak prajurit Batista yang membelot ke pihak Castro, dan Castro sendiri didukung oleh penduduk setempat.[106] Pada musim panas, MR-26-7 melakukan serangan balasan dan berhasil mengusir angkatan darat Batista dari wilayah pegunungan, dan Castro sendiri memimpin barisannya dan melakukan gerakan menjepit yang mengepung pasukan utama Batista di Santiago. Pada bulan November, pasukan Castro menguasai sebagian besar wilayah Oriente dan Las Villas, dan membagi Kuba menjadi dua dengan menutup jalan-jalan besar dan jalur-jalur rel; hal ini sangat merugikan Batista.[107]

AS merasa takut dengan kemungkinan bahwa Castro adalah seorang sosialis, dan mereka menginstruksikan Cantillo untuk melengserkan Batista.[108] Cantillo secara diam-diam menyepakati gencatan senjata dengan Castro dan ia juga menjanjikan bahwa Batista akan diadili sebagai seorang penjahat perang;[108] namun, ada yang memperingatkan Batista terkait dengan hal ini, sehingga ia melarikan diri dengan membawa uang yang jumlahnya melebihi US$300.000.000 pada 31 Desember 1958.[109] Cantillo memasuki Istana Presiden di Havana dan menyatakan hakim Mahkamah Agung Carlos Piedra sebagai Presiden.[110] Castro pun murka dan memutuskan untuk mengakhiri gencatan senjata.[111] Ia juga memerintahkan kepada prajurit anggota darat yang bersimpati dengan revolusi untuk menangkap Cantillo.[112] Saat mengikuti perayaan pelengseran Batista pada 1 Januari 1959, Castro memerintahkan MR-26-7 untuk mencegah penjarahan dan vandalisme.[113] Cienfuegos dan Guevara lalu memimpin pasukan mereka ke Havana pada 2 Januari, sementara Castro memasuki Santiago dan menyampaikan pidato yang menyebut soal perang kemerdekaan.[114] Saat menuju Havana, ia disambut kerumunan di setiap kota, dan ia juga melakukan konferensi pers dan diwawancara.[115]

"Pergerakan" dan penyerangan Barak Moncada: 1952–1953

Dalam selang waktu beberapa jam, kamu akan menang atau kalah, tetapi apapun yang akan terjadi – dengar baik-baik, teman-teman – Pergerakan akan menang. Jika kamu menang besok, aspirasi Martí akan terpenuhi dengan segera. Jika kita gagal, tindakan kita akan menjadi contoh bagi rakyat Kuba, dan dari rakyat akan bangkit kembali orang-orang yang bersedia mati demi Kuba. Mereka akan mengambil panji kita dan maju ke depan... Rakyat akan mendukung kita di Oriente dan di seluruh pulau. Seperti pada tahun '68 dan '92, di sini di Oriente kita akan mengeluarkan teriakan pertama Merdeka atau Mati!

— Pidato Fidel Castro kepada Pergerakan beberapa saat sebelum penyerangan Barak Moncada, 1953[46]

Castro membentuk kelompok "Pergerakan", yaitu sebuah kelompok dengan sistem sel bawah tanah. Kelompok ini menerbitkan surat kabar bawah tanah El Acusador (Sang Penuduh) dan juga mempersenjatai dan melatih pasukan anti-Batista.[47] Mereka melakukan perekrutan semenjak Juli 1952, dan akhirnya berhasil menjaring 1.200 anggota dalam setahun, kebanyakan dari kawasan-kawasan termiskin Havana.[48] Meskipun Castro adalah seorang sosialis revolusioner, ia tidak bersekutu dengan Partido Socialista Popular (PSP) yang berhaluan komunis, karena ia tidak ingin membuat takut kelompok-kelompok moderat, walaupun ia masih berhubungan dengan anggota-anggota PSP, termasuk adiknya Raúl.[49] Castro mengumpulkan senjata untuk melancarkan serangan ke Barak Moncada yang terletak di luar kota Santiago de Cuba, Oriente. Para militan Castro berencana untuk menyamar dengan mengenakan seragam angkatan darat dan lalu datang ke barak tersebut pada 25 Juli untuk mengambil alih kendali dan menjarah gudang persenjataannya sebelum bala bantuan lawan dapat dikerahkan.[50] Apabila misi ini berhasil, maka Castro dapat memulai revolusi di kalangan pemanen tebu yang miskin dan lalu semakin menggalakkan pemberontakan dengan memberikan persenjataan-persenjataan yang baru dirampas dari barak tersebut.[51] Rencana Castro meniru para pejuang kemerdekaan Kuba pada abad ke-19 yang menyerbu barak Spanyol; Castro juga menganggap dirinya sebagai penerus pejuang kemerdekaan Kuba, José Martí.[52]

Castro mengumpulkan 165 orang untuk melancarkan misi tersebut,[53] dan ia memerintahkan pasukannya agar tidak menumpahkan darah kecuali jika mereka menghadapi perlawanan bersenjata.[54] Serangan tersebut dimulai pada 26 Juli 1953, tetapi rencana yang telah disusun tidak semulus kenyataan; 3 dari 16 mobil yang dikerahkan dari Santiago tidak berhasil mencapai Barak Moncada. Setelah mobil-mobil yang lain sampai di tempat tersebut, tanda bahaya dibunyikan, dan sebagian besar pemberontak tertahan di tanah akibat tembakan senapan mesin. Empat orang tewas sebelum Castro memerintahkan untuk mundur.[55] Pada akhirnya di pihak pemberontak terdapat 6 orang yang gugur dan 15 yang terluka, sementara di pihak angkatan darat ada 19 yang tewas dan 27 yang terluka.[56] Sementara itu, beberapa pemberontak mengambil alih sebuah rumah sakit sipil; namun, rumah sakit itu lalu diserbu oleh pasukan pemerintah dan para pemberontak pun ditahan, disiksa, dan 22 orang dihukum mati tanpa melalui proses pengadilan.[57] Dengan ditemani oleh 19 orang, Castro berangkat ke Gran Piedra di pegunungan Sierra Maestra, dan di situ mereka dapat mendirikan sebuah pangkalan gerilya.[58] Sebagai tanggapan terhadap serangan yang telah terjadi, pemerintah Batista menyatakan darurat militer, memerintahkan penumpasan para pemberontak, dan melakukan penyensoran media.[59] Pemerintah menyiarkan informasi palsu tentang peristiwa tersebut, dengan mengklaim bahwa para pemberontak adalah kelompok komunis yang telah membunuh pasien-pasien rumah sakit, tetapi berita-berita dan foto-foto tindakan penyiksaan dan penghukuman mati yang dilakukan oleh para tentara di Oriente kemudian menyebar dan menimbulkan kecaman dari publik dan juga dari beberapa anggota pemerintahan.[59]

Dalam rentang waktu beberapa hari sesudahnya, para pemberontak dikumpulkan; beberapa dihukum mati, sementara yang lainnya (termasuk Castro) dibawa ke penjara di sebelah utara Santiago.[60] Pemerintah berkeyakinan bahwa Castro tidak mungkin merencanakan serangan tersebut sendirian, sehingga mereka menuduh keterlibatan para politikus Ortodoxo dan PSP, dan kemudian terdapat 122 terdakwa yang diadili di Istana Kehakiman di Santiago pada 21 September.[61] Saat menghadapi meja hijau, Castro menjadi pengacara untuk dirinya sendiri. Ia menyebut Martí sebagai dalang intelektual di balik serangan tersebut, dan ia juga berhasil meyakinkan tiga hakim untuk membatalkan keputusan angkatan darat untuk memborgol semua terdakwa di pengadilan. Selain itu, ia menyatakan bahwa tuduhan yang dilayangkan kepada mereka (yaitu "mengadakan pemberontakan bersenjata melawan wewenang konstitusional negara") tidaklah tepat, karena mereka memberontak melawan Batista yang telah merampas kekuasaan secara tidak konstitusional.[62] Pengadilan tersebut mempermalukan angkatan darat karena tindakan penyiksaan yang mereka lakukan terhadap tersangka pun terbongkar, dan kemudian mereka mencoba menghalangi Castro agar tidak lagi bicara dengan mengklaim bahwa ia sedang sakit, tetapi upaya tersebut tidak berhasil.[63] Pengadilan berakhir pada 5 Oktober, dan sebagian besar terdakwa dinyatakan bebas; 55 orang dihukum penjara antara 7 bulan hingga 13 tahun. Castro dijatuhi hukuman pada 16 Oktober, dan selama sidang putusan tersebut ia menyampaikan sebuah pidato yang kemudian akan diterbitkan isinya dengan judul Sejarah Akan Membebaskanku.[64] Castro dihukum 15 tahun penjara di bagian rumah sakit di Penjara Model (Presidio Modelo), sebuah lembaga modern dan relatif nyaman di Isla de Pinos.[65]

Gelombang merah jambu: 2000–2006

Meskipun dirundung masalah ekonomi, Kuba dibantu oleh terpilihnya tokoh sosialis dan anti-imperialis Hugo Chávez menjadi Presiden Venezuela pada 1999. Castro dan Chávez memiliki hubungan yang erat, dan Castro bertindak bagaikan pembimbing dan figur ayah bagi Chávez, dan bersama-sama mereka membentuk sebuah persekutuan yang sangat berdampak terhadap kawasan Amerika Latin. Pada 2000, mereka menandatangani sebuah perjanjian yang menyatakan bahwa Kuba akan mengirim 20.000 tenaga medis ke Venezuela, dan sebagai gantinya Kuba akan memperoleh 53.000 barel minyak setiap harinya dengan harga yang lebih murah; pada 2004, perdagangan tersebut ditingkatkan, dengan Kuba mengirim 40.000 tenaga medis dan Venezuela menyediakan 90.000 barel setiap harinya.[295] Pada tahun yang sama, Castro memprakarsai Misión Milagro, yaitu sebuah proyek medis gabungan dengan Venezuela yang ditujukan untuk menyediakan operasi mata gratis kepada 300.000 orang dari masing-masing negara. Persekutuan tersebut memperkuat ekonomi Kuba, dan pada Mei 2005 Castro menggandakan upah minimum 1,6 juta buruh, menaikkan dana pensiun, dan mengirimkan peralatan dapur baru kepada para penduduk termiskin di Kuba. Namun, permasalahan ekonomi masih belum sepenuhnya terselesaikan; pada 2004, Castro menutup 118 pabrik, termasuk pabrik baja, gula, dan pengolah kertas, akibat kekurangan bahan bakar.[298]

Kuba dan Venezuela menjadi negara pendiri Alternatif Bolivaria bagi Bangsa-bangsa Amerika (ALBA). ALBA ditujukan untuk meredistribusikan kekayaan di seluruh negara anggotanya, melindungi pertanian di kawasan tersebut, dan menentang liberalisasi dan privatisasi ekonomi. ALBA diawali dengan sebuah perjanjian pada Desember 2004 yang ditandatangani oleh kedua negara tersebut, dan diresmikan melalui Perjanjian Dagang Rakyat yang juga ditandatangani oleh Bolivia di bawah kepemimpinan Evo Morales pada April 2006. Castro juga menyerukan penggalakkan integrasi Karibia sejak akhir era 1990-an dan berkata bahwa hanya kerjasama yang lebih kuat di antara negara-negara Karibia yang akan menghindarkan mereka dari dominasi negara-negara kaya dalam ekonomi global.[301][302] Selain itu, Kuba membuka empat kedutaan besar baru di beberapa negara anggota Komunitas Karibia yang meliputi Antigua dan Barbuda, Dominika, Suriname, dan Saint Vincent dan Grenadine. Alhasil Kuba menjadi satu-satunya negara yang memiliki kedutaan besar di semua negara merdeka yang merupakan anggota Komunitas Karibia.[303]

Meskipun hubungan Kuba dengan sejumlah negara-negara Amerika Latin yang beraliran kiri terus membaik, pada 2004 negara tersebut memutus hubungan diplomatik dengan Panama setelah Presiden Mireya Moscoso yang berhaluan tengah mengampuni empat orang Kuba di pengasingan yang dituduh pernah mencoba membunuh Castro pada 2000. Hubungan diplomatik dipulihkan kembali pada 2005 setelah terpilihnya presiden Martín Torrijos yang berhaluan kiri.[304] Selain itu, Castro juga masih terus bermusuhan dengan AS. Namun, setelah Badai Michelle pada 2001 mengakibatkan kerusakan besar, Castro berhasil membuat kesepakatan pembelian pangan dari AS, walaupun ia menolak tawaran bantuan kemanusiaan dari negara tersebut.[305] Castro menyatakan rasa solidaritasnya kepada AS setelah terjadinya serangan 11 September 2001, dan ia juga mengutuk Al-Qaeda dan menawarkan bandara-bandara Kuba sebagai tempat pendaratan darurat bagi pesawat-pesawat AS. Ia sadar bahwa serangan tersebut akan membuat kebijakan luar negeri AS menjadi lebih agresif, dan menurutnya kebijakan semacam itu bersifat kontra-produktif.

Sementara itu, pada 1998, Perdana Menteri Kanada Jean Chrétien tiba di Kuba untuk menemui Castro. Ia menjadi pemimpin pemerintahan Kanada pertama yang mengunjungi pulau tersebut semenjak Pierre Trudeau berkunjung ke Havana pada 1976.[307] Pada 2002, mantan Presiden AS Jimmy Carter mengunjungi Kuba, tetapi di situ ia menyoroti ketiadaan kebebasan sipil di negara tersebut dan menyerukan kepada pemerintah Kuba untuk memperhatikan Proyek Varela yang diprakarsai oleh Oswaldo Payá.

Mengukuhkan kekuasaan: 1959–1960

Pada 16 Februari 1959, Castro disumpah menjadi Perdana Menteri Kuba.[127] Pada bulan April, ia mengunjungi AS, tetapi Presiden Eisenhower tidak mau menemuinya dan malah mengutus Wakil Presiden Richard Nixon untuk menggantikannya; Castro langsung tidak menyukai Nixon setelah mereka bertemu.[128] Castro lalu melanjutkan kunjungannya ke Kanada, Trinidad, Brasil, dan Uruguay. Ia juga menghadiri sebuah konferensi ekonomi di Buenos Aires, Argentina, dan di situ ia mengajukan usulan agar AS menggelontorkan "Rencana Marshall" senilai $30 miliar untuk Amerika Latin, tetapi usulan tersebut ditolak.[129] Pada Mei 1959, Castro menandatangani hukum Reformasi Agraria Pertama, yang menetapkan batas maksimal luas kepemilikan lahan sebesar 993 ekar (402 hektare) per pemilik, dan melarang orang asing memperoleh kepemilikan lahan di Kuba. Sekitar 200.000 petani mendapatkan surat kepemilikan lahan setelah lahan-lahan besar diredistribusikan; kebijakan ini didukung oleh para buruh, tetapi dibenci oleh golongan pemilik lahan,[130] termasuk ibunya sendiri.[131] Pada masa ini, Castro juga mengangkat dirinya sebagai presiden Industri Pariwisata Nasional. Ia mencoba menarik wisatawan Afrika-Amerika dengan mengiklankan Kuba sebagai tempat wisata tropis yang terbebas dari segala bentuk diskriminasi ras, tetapi upaya tersebut tidak berhasil.[132] Sementara itu, gaji para hakim dan politikus diturunkan, dan gaji PNS rendahan dinaikkan.[133] Pada Maret 1959, ia juga menyatakan bahwa biaya sewa untuk orang-orang yang membayar lebih sedikit dari $100 sebulan akan dikurangi setengah.[134]

Meskipun ia menolak menggolongkan rezimnya sebagai rezim sosialis dan berulangkali menyangkal tuduhan komunis, Castro memberikan jabatan senior pemerintahan dan militer kepada orang-orang yang berhaluan Marxis. Salah satu contohnya adalah Che Guevara yang menjadi Gubernur Bank Sentral dan kemudian juga diangkat sebagai Menteri Perindustrian. Komandan Angkatan Udara Pedro Luis Díaz Lanz sangat tercengang sampai-sampai ia membelot ke AS.[135] Meskipun Presiden Urrutia mengutuk pengkhianatan tersebut, ia mengungkapkan kekhawatirannya terkait dengan kebangkitan Marxisme. Castro pun murka dan lalu mengumumkan pengunduran dirinya dari jabatan Perdana Menteri, dan ia menuduh Urrutia telah mempersulit pemerintahannya dengan pandangan "anti-komunisme yang menggebu-gebu". Lebih dari 500.000 pendukung Castro lalu mengepung Istana Presiden dan menuntut pengunduran diri Urrutia. Urrutia memenuhi tuntutan tersebut, dan Castro pada 23 Juli meneruskan jabatannya sebagai Perdana Menteri dan mengangkat Osvaldo Dorticós yang berhaluan Marxis sebagai Presiden.[136]

Pemerintah Castro mengutamakan kebijakan-kebijakan sosial untuk meningkatkan standar hidup rakyat Kuba, walaupun kebijakan itu sering kali mengorbankan pertumbuhan ekonomi.[137] Pemerintahannya sangat mementingkan pendidikan, dan selama 30 bulan pertama pemerintahan Castro, banyak sekolah-sekolah baru yang dibuka. Sistem pendidikan dasar Kuba mulai menawarkan program studi-kerja: separuh waktu dijalani di ruang kelas, dan separuh waktu lainnya dihabiskan untuk melakukan aktivitas produktif.[138] Penyediaan layanan kesehatan juga dinasionalisasi dan diperluas jangkauannya; pusat-pusat kesehatan di pedesaan dan poliklinik di perkotaan dibuka di berbagai wilayah Kuba dan digratiskan. Selain itu, pemerintah Castro menggalakkan vaksinasi untuk mencegah penyakit-penyakit masa kecil, dan tingkat kematian bayi pun berkurang secara drastis.[137] Bagian ketiga dari program sosial Castro adalah pembangunan infrastruktur. Selama enam bulan pertama pemerintahan Castro, 600 mil jalan dibangun di seluruh Kuba, sementara $300 juta digelontorkan untuk proyek penyediaan air dan sanitasi.[137] Lebih dari 800 rumah dibangun setiap bulannya pada tahun-tahun awal pemerintahan Castro dalam upaya untuk memerangi ketunawismaan, sementara tempat penitipan anak dan perawatan penyandang disabilitas dan lansia juga didirikan.[137]

Castro menggunakan radio dan televisi untuk melakukan "dialog dengan rakyat", mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan membuat pernyataan-pernyataan provokatif.[139] Rezimnya masih tetap populer di kalangan buruh, petani, dan mahasiswa, dan ketiganya jika digabung merupakan kelompok mayoritas di Kuba.[140] Di sisi lain, perlawanan biasanya muncul dari kelas menengah; ribuan dokter, insinyur, dan kaum profesional lainnya pindah ke Florida, sehingga terjadilah pelarian sumber daya manusia.[141] Produktivitas pun menurun dan cadangan keuangan negara tersebut terkuras dalam waktu dua tahun.[134] Setelah pers yang berhaluan konservatif bermusuhan dengan pemerintah, serikat percetakan yang pro-Castro mengganggu staf-staf editorialnya, dan pada Januari 1960 pemerintah memerintahkan mereka untuk menerbitkan sebuah "klarifikasi" yang ditulis oleh serikat percetakan di bagian akhir artikel yang mengkritik pemerintah.[142] Pemerintah Castro menangkap ratusan orang yang dituduh kontra-revolusi,[143] dan banyak dari antara mereka yang menjadi ditahan, diperlakukan secara kasar, atau diancam.[144] Kelompok militan anti-Castro (yang didanai oleh orang-orang Kuba di pengasingan, Central Intelligence Agency (CIA), dan pemerintah Dominika) melakukan serangan dan mendirikan pangkalan-pangkalan gerilya di kawasan pegunungan Kuba, sehingga meletuslah Pemberontakan Escambray yang berlangsung selama enam tahun.[145]

Pada 1960, Perang Dingin terus memanas di antara dua negara adidaya: Amerika Serikat, sebuah negara demokrasi liberal kapitalis, melawan Uni Soviet, sebuah negara sosialis Marxis-Leninis yang diperintah oleh Partai Komunis. Castro menyatakan ketidaksukaannya terhadap AS dan memiliki pandangan-pandangan ideologi yang serupa dengan Uni Soviet, sehingga ia membina hubungan dengan beberapa negara yang berhaluan Marxis–Leninis.[146] Castro lalu bertemu dengan Wakil Pertama Perdana Menteri Uni Soviet Anastas Mikoyan, dan ia bersedia untuk memasok Uni Soviet dengan gula, buah-buahan, serat, dan kulit hewan, dan sebagai gantinya Kuba akan memperoleh minyak mentah, pupuk, barang-barang industri, dan pinjaman senilai $100 juta.[147] Pemerintah Kuba memerintahkan agar kilang-kilang minyak di negara tersebut (yang dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan AS) memroses minyak-minyak dari Soviet, tetapi mereka menolaknya akibat tekanan dari AS. Castro menanggapinya dengan menasionalisasikan kilang-kilang tersebut. AS lalu berhenti mengimpor gula dari Kuba, tetapi Castro membalasnya dengan menasionalisasikan sebagian besar aset milik AS di pulau tersebut, termasuk pabrik gula dan bank.[148]

Hubungan antara Kuba dengan AS semakin memburuk setelah terjadinya ledakan kapal Prancis La Coubre di pelabuhan Havana pada Maret 1960. Kapal tersebut mengangkut senjata-senjata yang dibeli dari Belgia, dan penyebab ledakan tersebut tidak diketahui, tetapi Castro secara terbuka menuduh pemerintah AS sebagai dalangnya. Ia mengakhiri pidatonya dengan mengatakan "¡Patria o Muerte!" ("Tanah Air atau Mati!"), sebuah pernyataan yang sering ia kumandangkan pada tahun-tahun berikutnya.[149] Pemerintah AS terinspirasi dengan keberhasilan kudeta Guatemala 1954, sehingga Presiden AS Eisenhower pada Maret 1960 memerintahkan CIA untuk melengserkan pemerintah Castro. Untuk melaksanakan tugas tersebut, CIA diberikan anggaran sebesar $13 juta dan mereka juga diperbolehkan bersekutu dengan Mafia, yang merasa kesal karena pemerintah Castro menutup rumah-rumah bordil dan usaha-usaha kasino mereka di Kuba.[150] Pada 13 Oktober 1960, AS melarang sebagian besar ekspor ke Kuba dan memulai sebuah embargo ekonomi. Sebagai balasannya, Lembaga Nasional untuk Reformasi Agraria (INRA) mengambil alih 383 usaha swasta pada 14 Oktober, dan pada 25 Oktober terdapat 166 perusahaan AS di Kuba yang dinasionalisasi.[151] Pada 16 Desember, AS mengakhiri kuota impor gula dari Kuba, yang merupakan sumber devisa utama Kuba.[152]

Pada September 1960, Castro mendatangi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York City. Ia menginap di Hotel Theresa, Harlem, dan di situ ia bertemu dengan para jurnalis dan aktivis-aktivis seperti Malcolm X. Ia juga bertemu dengan Perdana Menteri Soviet Nikita Khrushchev, dan mereka berdua sama-sama mengutuk kemiskinan dan rasisme yang dialami oleh orang-orang Amerika di kawasan seperti Harlem. Castro dan Khrushchev berhubungan akrab, dan masing-masing dari mereka memulai tepuk tangan saat yang lain selesai berpidato di hadapan Majelis Umum.[153] Castro kemudian dikunjungi oleh Sekretaris Pertama Polandia Władysław Gomułka, pemimpin Bulgaria Todor Zhivkov, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru.[154] Pada sore harinya, Castro juga diterima di resepsi Fair Play for Cuba Committee.[155]

Sekembalinya di Kuba, Castro takut dilengserkan oleh AS; pada 1959, rezimnya menghabiskan uang sebesar $120 juta untuk membeli persenjataan dari Soviet, Prancis, dan Belgia, dan pada awal 1960 pemerintah Kuba telah menggandakan jumlah tentara Kuba.[156] Ia juga mengkhawatirkan unsur-unsur kontra-revolusi di kalangan tentara, sehingga pemerintah membentuk Milisi Rakyat dengan maksud untuk mempersenjatai warga sipil yang mendukung revolusi, dan untuk itu mereka memberikan pelatihan kepada sekitar 50.000 orang.[157] Pada September 1960, pemerintah Kuba mendirikan Komite Pertahanan Revolusi (KPR), sebuah organisasi sipil nasional yang melakukan aktivitas mata-mata untuk menemukan kegiatan-kegiatan kontra-revolusi, meskipun organisasi ini juga mengadakan kampanye kesehatan dan pendidikan. Pada 1970, sepertiga penduduk Kuba terlibat dalam KPR, dan persentasenya akan terus meningkat hingga mencapai 80%.[158]

Castro menyatakan berdirinya pemerintahan baru yang berasaskan demokrasi langsung, dan berdasarkan sistem ini rakyat Kuba dapat berkumpul dan bergabung dengan unjuk rasa untuk menyatakan kehendak mereka. Castro juga menolak pengadaan pemilu, dan ia mengklaim bahwa sistem demokrasi perwakilan hanya memenuhi kepentingan elit-elit sosio-ekonomi.[159] Menteri Luar Negeri AS Christian Herter kemudian mengumumkan bahwa Kuba telah menerapkan model pemerintahan Soviet dalam bentuk pemerintahan satu partai, penindasan kebebasan sipil, pengendalian serikat-serikat dagang oleh pemerintah, dan ketiadaan kebebasan berbicara dan kebebasan pers.[160]